Selamat pagi
Februari, selamat pagi embun, dan selamat pagi kamu..
Apa tidurmu
semalam nyenyak ? itu selalu menjadi rutinitasku tiap pagi, menyapa mereka yang
aku sayangi.
Aku terbiasa
dengan embun tebal, bahkan lebih tebal dari pagi ini. Aku menyayanginya, melihatnya seolah melihat
sebuah harapan baru. Walaupun hanya tetes-tetes lembut yang bahkan tak terasa
walaupun adakalanya ia terasa, seperti halnya harapan kadang ia terasa hingga
membuat kita lupa dan berharap terlalu jauh hingga akhirnya jatuh dan terluka
namun kadang kala kita tidak merasakannya walaupun sejatinya harapan itu selalu
ada bagi setiap mereka yang hidup dan tentunya percaya. Harapan yang
sesungguhnya bagiku dan bagi dunia nyataku adalah setipis embun, halus, dan
kadang kala memang terasa tapi seringkali tidak.
Aku tumbuh di
alam bebas, aku mencintai alam. Sangat indah saat pagi hari mendengar riuhnya
kicau burung di atas sana. Saat mentari beranjak naik orang-orang akan sibuk dengan
aktifitasnya, para ayah berladang dan ibu-ibu itu sibuk dengan obrolan mereka
di pinggiran sungai. Tapi itu dulu, saat aku masih kecil, duduk di pematang dan
melihat para petani mengusir burung-burung nakal. Berlarian di pematang demi
menangkap capung-capung yang seharusnya tak aku lakukan. Tapi aku masih terlalu
kecil saat itu, terlalu kecil untuk mengerti arti bahwa hewan itupun
menginginkan kebebasan.
Tapi semuanya
sekarang telah berubah, bahkan tempat bermainku pun tak lagi sama. Bahkan aku
bisa menulis seperti ini yang dulu tak mungkin bisa aku lakukan. Dulu sejauh
mata memandang, sejauh jalan yang kutempuh antara rumah dan sekolah dasarku,
padi-padi dan rumput ilalang menghiasi menghijau atau bahkan sudah menguning
dan siap memberi kebahagiaan. Tapi sekarang sejauh yang bisa aku lihat
gedung-gedung itu yang menjadi penghias di sepanjang perjalanan ku menuntut
ilmu.
Sebenarnya dunia
kita menuju kehidupan yang lebih baik atau menuju kebobrokan yang lebih nyata,
semua serba gampang dan cepat. Aku sendiri pun tak perlu berjalan kaki untuk
pergi menunutut ilmu, yang dulu selalu menjadi rutinitasku. Tapi apa itu
benar-benar sebuah kemajuan? aku dulu belajar dari alam, belajar untuk bisa
mencintai mereka seperti mereka memberi kebahagiaan untukku. Aku merindukan
tempat bermain dulu. Semua alat bermain canggih dan modern yang ada saat ini,
apa itu benar-benar memberi mereka pemahaman yang jauh lebih baik daripada aku?
Alat bermainku dan mungkin teman-teman yang sekarang seusia denganku adalah
hanya alat-alat kuno, tak perlu mengeluarkan biaya untuk memperolehnya. Alam menyediakannya
gratis untuk putra-putrinya. Aku merindukan masa-masa itu. Boneka sawah, gubug
sawah, lumpur-lumpur itu, ahh semuanya telah berubah. Kehidupan yang katanya
menuju ke arah yang lebih baik, kehidupan yang katanya menuju ke arah modern
senyatanya hanya pengrusakan alam dalam skala besar. Untuk apa semua fasilitas
dan kemajuan tatanan kota kalau masyarakatnya tidak diajari untuk mencintainya?
Aku memang ikut
menikmati perkembangan jaman ini, ikut menikmati fasilitas dan semua alat
modern yang ada. Tapi apa orang-orang di desa, orang-orang yang tak bisa
meninggalkan desa yang hanya bergantung dengan alam dan tak memahami fasilitas
modern ini bahagia? Kemajuan itu apa hanya untuk kita kaum intelek? Lalu bagaimana
nasib mereka? Aku harus menemukan solusinya? Aku rasa memang kita yang harus
menemukan solusinya. Semua berubah dan kita harus menjadi bagian dari perubahan
itu. Tengoklah sebentar dunia nyata kalian, tempat dulu kalian bermain, tengoklah
tetangga kalian yang tak seberuntung kalian, tengoklah sebentar dan pahamilah
bahwa kemajuan dan kemakmuran harusnya mengikutsertakan mereka bukan hanya
orang-orang berdasi dan bersepatu kinclong yang menggunakan mobil-mobil mewah. Gerobag-gerobag
sapi itu juga bagian dari negara ini, alam juga bagian dari negara ini. Bisakah
kita tak menyia-nyiakan pengorbanannya? Pertanyaaan untuk diriku sendiri dan
untuk kita.
Akan seperti apa
aku tumbuh? Akan menjadi apa aku nanti? Bisakah aku menjadi agen perubahan yang
nyata bukan hanya lewat tulisan ini? Aku hanya harus tetap maju dan membuktikannya bukan? Kita akan lihat seperti
apa aku nanti, dan semoga tulisan yang aku buat sendiri ini menjadi pengingat
apa yang seharusnya aku lakukan, kita lakukan. Dan kamu, dimanapun kamu selamat
pagiku selalu tertuju untuk kamu, hanya setipis embun dan sehalus hembusan
angin. Hanya sebatas itu memang tapi aku percaya suatu saat kamu akan
mendengarnya. Sekarang jalankan misimu Tuan, hingga kita memang pantas meraih
kemenangan. Seperti sebuah kata ajaib milik sahabatku “Aku lebih suka memendam
rasa, karena aku mengharap akhir yang istimewa”. Kamu akan, kita akan.
Happy Saturday..
Welcome to my life Februari...
0 komentar:
Posting Komentar